Senin, 24 Mei 2010

sejarah kampung "LAWEYAN" surakarta

Sejarah kampung Laweyan


Nama Lawiyan atau Laweyan tidak hanya dipakai sebagai nama tempat, tetapi juga dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu, yaitu yang dikenal sebagai kelompok kaum kaya (wong Nglawiyan), yang berlebih (kaluwih-luwih) dalam segala hal,terutama dalam hal kebutuhan hidup (harta kekayaan), dikota Surakarta, sebab daerah tersebut menjadi pusat perdagangan batik dan tempat tinggal para pengusaha batik tulis Jawa.

Tentang istilah Lawiyan ada dua cara menulisnya, yaitu : Laweyan dan Lawiyan. Berdasarkan informasi tradisional yang diperoleh, tulisan dengan Lawiyan kita temukan dalam nama makam Astana Lawiyan, Sunan Nglawiyan, yang terletak di sebelah selatan daerah Lawiyan. Menurut Nyi Lurah Hanggasuksma, penjaga AstanaLawiyan, riwayat Lawiyan itu tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis adalah putra Ki ageng Sela. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Dalam sejarah Pajang (Atmodarminto, 1957 : 125); Dirjosubroto, 1916 : 87), Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Lawiyan. (Althoff, 1941 : 46) dalam Babad Tanah Jawi karya Althoff tersebut menyebutkan begini :

“ Saking karsanipun Sultan Pajng, Ki Ageng Ngenis kaaturan gegriya ing Lawiyan, inggih ndherek. Nalika sedanipun inggih kakubur iang Lawiyan ngriku ”.

Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut. Istilah Lawiyan juga kita temukan pada peristiwa pembunuhan Raden Pabelan (Jaka Pabelan atau dalam cerita Ki Gede Sala disebut Kyai Batang). Dia dibunuh karena bermain asmara dengan putri bungsu Sultan : Raden Ayu Sekar Kedaton. (Ibid : 86). Mayat Jaka Pabelan dibuang di Sungai Lawiyan (Sungai Jenes).

“ Sultan duka sanget, nunten nimbali Tamtama ndikakaken menjahi pandung wau. Tamtama kapimpin dning Ngabehi Wirakerti lan Suratama. Raden Pabelan kelakon saged kapejahan dipun krocak ing gegaman. Tatunipun arang kranjang, wengkanipun dipun bucal ing lapen Nglawiyan ”.

Selanjutnya berdasarkan kata Laweyan, secara etimologis berasal dari kata Lawe, yaitu benang bahan kain. Kita ketahui bahwa dalam bahasa Sansekerta terdapat kata Laway, artinya jenazah tanpa kepala. Kalau demikian, maka kata Laweyan, Lawayan menunjukkan tempat Nglawe (menghukum orang dengan lawe). Siapakah yang mendapatkan hukuman itu ? peristiwa ini kita hubungkan dengan Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika masih sebagai Pangeran, yang diperisteri (diambil sebagai selir) oleh Sunan Mangkurat Mas (Mangkurat III), bermain cinta dengan Raden Sukra, Putra Patih Raden Arya Sindureja. Keduanya ketahuan dan dihukum mati dengan lawe. Mayatnya dimakamkan di Astana Lawiyan. Dengan demikian nama Laweyan lebih muda dari pada Lawiyan.

Selanjutnya nama Lawiyan disebut pula dalam peristiwa pelarian Sunan Paku Buwana II ke Panaraga dalam masa Geger Pacianan (Pemberontakan Thionghoa) (Kuntharatama, 1958:7). Daerah ini dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan persembunyiannya. Sunan mohon berkah di Astana Lawiyan (Makam Ki Ageng enis). Maka Sunan Paku Buwana II juga disebut Sunan Nglawiyan dan ketika mangkat juga dimakamkan di Astana Nglawiyan.

Ada yang berpendapat bahwa Lawiyan berasal dari kata alih-alihan (perpindahan), dalam ucapan menjadi Ngalihan atau Ngaliyan yang akhirnya menjadi Lawiyan yaitu merupakan tempat perpindahan orang-orang dari Desa Nusupan (pelabuhan zaman Pajang-Kartasura di Bengawan Sala). Mereka pindah untuk menghindari bahaya banjir dari Bengawan Sala (dahulu namanya Bengawan Semanggi atau Bengawan Nusupan) Desa Nusupan (sekarang termasuk Kelurahan Semanggi) pada zaman Pajang dan Kartasura menjadi pelabuhan yang penting. Tetapi karena seringnya banjir, berpindah ke Lawiyan. Maka sampai saat ini wong Nglawiyan bagi masyarakat Sala termasuk kelompok orang kaya. Perkembangan selanjutnya dari Lawiyan ini pulalah muncul perkumpulan para pengusaha batik yang pertama yaitu Sarekat Dagang Islam dengan dipelopori oleh Kyai Haji Samanhudi (1911).

Kelurahan Lawiyan terdiri dari beberapa kampong, yaitu kampong Lor Pasar (tempat Sutawijaya tinggal dengan nama Mas Ngabehi Loring Pasar), kampong Kidul Pasar (sekarang batasnya sudah tidak jelas), kampong setono (Sentono) tempat tinggal abdi sentana Mas Ngabehi Kartahastono: kampung Sayangan Wetan dan Sayangan Kilen (tempat abdi dalem saying bertempat tinggal), yang tugas sehari-harinya sebagai abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga untuk keperluan kraton (Pajang), kampung Kwanggan, kampung Kramat (karena Astanma Nglawiyan dianggapnya sebagai tempat yang keramat), dan kampung Klaseman yaitu tempat memproses pembuatan kain batik agar warna batik nantinya tidak mencolok tetapi kelihatan lembut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar