Senin, 31 Mei 2010

resensi buku " Max Havelaar"

Max Havelaar

Max Havelaar: Atau Lelang Kopi dari Perusahaan Dagang Belanda adalah signifikan secara sosial budaya dan novel karya Multatuli (dengan nama pena Eduard Douwes Dekker). Max Havelaar bercerita tentang seorang makelar kopi yang cinta akan keadilan , juga tentang kolonialisme yang dilakukan belanda kepada para petani di daerah lebak Banten. Perlakuan yang diberikan kepada masyarakat pribumi dengan melakukan pungutan-pungutan liar dan juga penarikan pajak yang dilakukan dengan paksa yang dilakukan oleh aparatur negara sepertihalnya para bupati dan juga yang dibawahnya. Perlakuan inilah yang menyebabkab Max Havelar sering berurusaan dengan para petinggi belanda. Max Havelaar, mencoba melawan sitem pemerintahan yang korup di Jawa, Belanda yang merupakan koloni pada saat itu. Hal inilah yang memebuat Max Havelaar sangat dikenal oleh masyarakat pribumi yang sering ditindas oleh para aparatur Negara.

Kontrol kolonial Indonesia telah berlalu dari Perusahaan India Timur Belanda (VOC) ke pemerintah Belanda karena kegagalan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pendapatan, pemerintah kolonial Belanda menerapkan serangkaian kebijakan yang diistilahkan sebagai Tanam Paksa (bahasa Belanda: cultuurstelsel), yang dimandatkan petani Indonesia menanam kuota dapat diperdagangkan tanaman komersial seperti teh dan kopi, bukannya tumbuh makanan pokok seperti beras. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial juga menerapkan sistem pengumpulan pajak di mana agen-agen pengumpul dibayar oleh komisi. Kombinasi kedua strategi luas disebabkan penyalahgunaan kekuasaan kolonial, terutama di pulau Jawa dan Sumatera, yang mengakibatkan kemiskinan dan kelaparan meluas di kalangan petani.

Multatuli menulis Max Havelaar sebagai protes terhadap kebijakan kolonial ini. Dia mengangkat kesadaran Eropa yang tinggal di Eropa pada saat itu bahwa kekayaan yang mereka nikmati adalah hasil dari penderitaan di bagian lain dunia. Kesadaran ini pada akhirnya membentuk motivasi yang baru Politik Etis yang digunakan pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk "membayar" utang mereka jajahan mereka dengan memberikan pendidikan kepada beberapa golongan pribumi, umumnya anggota elit yang setia kepada pemerintah kolonial.

Sebenarnya buku Max Havelaar memicu reformasi pendidikan ini, Max Havelaar pada gilirannya bertanggung jawab atas gerakan nasionalis yang berakhir kolonialisme Belanda di Indonesia setelah 1945.

Senin, 24 Mei 2010

Sejarah Kampung Jagalan di Surakarta

Sejarah Kampung Jagalan

Sejarah lokal adalah sejarah mengenai suatu daerah atau wilayah. Sejarah lokal mempelajari tidak hanya tentang terjadinya sutau daerah tapi juga kebudayaan dan masyarakat secara lebih mendetail.

Kampung jagalan terbentuk pada akhir abad ke-19. Kampung jagalan terdiri dari beberapa kampung. Kampung jagalan terbentuk dari suatu perkumpulan masyarakat yang berprofesi berhubungan dengan jagal atau penyembelihan hewan. Daerah jagalan dulunya merupakan daerah yang di kepalai lurah dari kraton. Daerah jagalan adalah tempat penyembelihan hewan untuk memenuhi kebutuhan daging di kota surakarta. Dari proses itu lebih kurang ada 70 sampai 80 hewan yang disembelih tiap hari nya. Hewan yang disenbelih adalah sapi dan juga kerbau. Di kampung jagalan sendiri dulu beroperasi banyak rumah pemotongan hewan.

Warga yang tingal pun mempunyai kebudayaan tinggal berhubungan dengan proses tersebut antara lain adanya produksi rambak yang berasal dari kulit sapi yang semuahya berasal dari kegiatan penyembelihan.

Dengan berkembang nya zaman para jagal pun lama-kelamaan mulai menutup usahanya. Sampai pada saat ini hanya ada satu tempat penjagalan yang masih difungsikan. Para jagal mulai menutup uashanya karena adanya banyak kerugian karena adanya banyak penipuan yang terjadi.

Mitos yang berkembang

Di kampung jagalan tidak berkembang suatu mitos apapun

Wilayah jagalan

· Kalangan

Kalangan adalah tempat dimana abdi dalem kaalang tinggal

· Sorogenen

Sorogenen menurut cerita yang berkembang terbentuk karena daerah itu adalah tempat tinggal abdi dalem Sorogeni

· Bororejo

Bororejo terbentuk karena daerah itu mulanya adalah tempt yang ramai dari kata boro dan banyak orang yang berdatangan atau rejo.

· Belik

Diberi nama belik karena daerah itu dulu terdapat sebuah belik atau sebuah sumber mata air yang di gunakan masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Kini daerah tersebut semakin kecil dan lambat laun berkurang.

· Tekenan

Tekenan merupakan wilayah yang digunakan pada akhir abad 19 untuk menyortir hewan-hewan yang akan masuk ke tempat penjagalan.

· Kandang pitik

Kandang pitik adalah daerah yang terbentuk karena dulu tempat itu merupakan tempat untuk memelihara ayam atau pitik.

· Pakasa

Kampung yang menjadi pusat Perkumpulan Kawula Surakarta (PKS), yaang tumbuh dan berkembang sebagai organisasi politik lokal di surakarta sekitar tahun 1930-an.

Letak topografis daerah jagalan:

Batas wilayah Jagalan

  • Timur : Pucang sawit
  • Barat : Purwalaya
  • Utar : Jebres
  • Selatan : Kampung sewu

Untuk mitos yang berkembang di daerah jagalan sendiri adalah mitos tentang daerah kalangan. Daerah kalang terbentuk dari perkumpulan penduduk kalang. Kalang sendiri adalah para ahli kayu yang sangat ahli. Menurut mitos orang kalang kemungkinan bukan penduduk asli jawa. Orang kalang dianggap mempunyai strtuktur sosial paling rendah. Mitos orang kalang adalah tentang bahwa orang kalang adalah keturunan dari manusia dengan binatang. Selain itu orang kalang dianggap telah kawin dengan keluarga mereka sendiri (inses) sehingga di anggap sama dengan binatang.

Pada masa Sultan Agung dari Mataram, orang kalang mulai dikumpulkan dan dijadikan abdi dalem kraton yang bertugas sebagai pembuat bangunan istana, karena kemampuan mereka dalam memahami jenis-jenis kayu yang baik digunakan untuk pembuatan bangunan rumah. Ketika kerajaan mataram dipecah menjadi dua para kalang pun dibagi menjadi dua, setengah dari jumlah kalang ikut ke yogyakarta dan setengah lainnya menetap di kraton surakarta.

Kebudayaan

Kebudayaan yang berkembang di daerah jagalan adalah adanya suatu perkumpulan budaya yaitu campursari dan juga reog. Seiring dengan perkembangan jaman kebudayaan itu mulai terkikis dan hilang.

Dikampung jagalan masyarakat yang baru pindah biasanya meminta izindan juga bersilaturahmi kepada sesepuh kampung dalam istilah jawa disebut kulo nuwun.

Analisis:

Sejarah mengenai kampung jagalan tentang terjadinya kampung tersebut, mitos yang berkembang dan juga kebudayaan yang berkembang. Metodologi yang di pergunakan adalah metodologi sosisal budaya. Hal itu terlihat dari kebudayaan yang berkembang di kampung tersebut dan juga pembentukan kampung yang terjadi karena adanya persamaan dalam mata pencaharian dan juga berhubungan dengan urusan penjagalan.


sejarah kampung Jayengan di Surakarta

Sejarah Kampung Jayengan di Surakarta

Terletak jalan selatan Klenteng Cina Secoyudan ke selatan pertigaan natasuman, kebarat sampai perempatan jalan kraton, ke utara sampai perempatan Singasaren. Merupakan tempat tinggal para abdi dalem pengurus minuman bila ada pesta di istana.

Sumber lain mengatakan bahwa Jayengan adalah abdi dalem prajurit istana;

Jayagastra, prajurit Prameswari Dalem dan abdi dalem prajurit Jayantaka, prajurit berani mati, pengawal pribadi raja.

Disini terdapat kampung Carikan, ialah tempat abdi dalem yang bertugas membuat pakaian prajurit dan pakaian raja, misalnya ikat kepala (blangkon), sabuk, epek, dan sejenis kuluk. Di kelurahan Jayengahn terdapat kampung-kampung yaitu

1.) Jayengan,

2.) Gandekan, tempat tinggal abdi dalem gandhek, ialah utusan raja.

Gandhekan sendiri ada dua yaitu

a.) Gandhekan Kiwa, tempat dapur umum istana.

b.) Gandhekan Tengen, bertugas menjadi utusan raja.

3.) Kampung Keparen

4.) Kampung Surobawon, tempat tinggal RMNg Surobowo

5.) Kartodipuran, terdapat tempat tinggal kerabat keratin RT Kartodipuro, anggota prajurit Tanastra (bersenjatakan panah)

6.) Borotodipuaran, tempat tinggal RMNg Brotodipuro, kerabat keraton pada zaman Sunan Paku Buwana X

7.) Nyutran (Panyutran), tempat tinggal abdi dalem Nyutra, bersenjatakan panah dan keris

8.) Notokusuman (Notosuman), tempat tinggal KPH Notokusumo, salah seorang putra Sunan Paku Buwana VIII. Nama Natokusuma, kita temukan pula pada masa :

  1. Raden Adipati Notokusumo

Patih Jawi Kartasura , zaman Sunan Paku Buwana II (1726-1749).

Semula Sunan bersikap membantu pemberontak Thionghoa, dengan menyuruh Patih Adipati Natokusumo untuk menyerang Semarang. Namun usaha ini gagal. Akibatnya sikap Sunan berubah, dan menuduh bahwa pemberontakan Tionghoa didalangi olehb Patih Notokusumo tersebut ( hal ini sebenarnya hanya untuk membuang tilas, agar Sunan tidak didakwa oleh Kompeni Belanda membantu Tionghoa). Itulah sebabnyakarena ditangkap dan diasingkan ke Sailan, dan kemudian diminta kembali oleh P Mangkubumi dalam perjanjian Giyanti.

  1. Pangeran Notokusumo

Salah seorang sentana dalem zaman Sunan Paku Buwana III. Tokoh ini akhirnya diabdikan kepada KGPAA Mangkunegaran I (RM Said).

  1. Pangeran Notokusumo, putra Pangeran Natakusumo (b). Pangeran Natakusuma ini dalam zaman Sultan Hamengkubuwana II, yang sangat setia kepada Pemerintah Inggris, diangkat menjadi KGPAA Paku Alam I (1813) oleh Th Raffles.

9.) Kampung Macanan, tempat tinggal para prajurit Macanan Hanirbaya pembasmi kejahatan.

10.) Kampung Suroloyan, tempat tinggal prajurit Suroloyo, pasukan berani mati.

11.) Kampung Kali Larangan, menurut cerita melalui daerah ini mengalir air dari umbul Pengging yang khusus untuk istana. Dahulu, saluran air ini terbuka, tetapi karena semakin sibuknya suasana maka saluran tersebut ditutup agar airnya tidak tercemar. Karena ada larangan inilah, maka akhirnya daerah tersebut disebut Kali Larangan.


sejarah kampung "LAWEYAN" surakarta

Sejarah kampung Laweyan


Nama Lawiyan atau Laweyan tidak hanya dipakai sebagai nama tempat, tetapi juga dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu, yaitu yang dikenal sebagai kelompok kaum kaya (wong Nglawiyan), yang berlebih (kaluwih-luwih) dalam segala hal,terutama dalam hal kebutuhan hidup (harta kekayaan), dikota Surakarta, sebab daerah tersebut menjadi pusat perdagangan batik dan tempat tinggal para pengusaha batik tulis Jawa.

Tentang istilah Lawiyan ada dua cara menulisnya, yaitu : Laweyan dan Lawiyan. Berdasarkan informasi tradisional yang diperoleh, tulisan dengan Lawiyan kita temukan dalam nama makam Astana Lawiyan, Sunan Nglawiyan, yang terletak di sebelah selatan daerah Lawiyan. Menurut Nyi Lurah Hanggasuksma, penjaga AstanaLawiyan, riwayat Lawiyan itu tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis adalah putra Ki ageng Sela. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Dalam sejarah Pajang (Atmodarminto, 1957 : 125); Dirjosubroto, 1916 : 87), Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Lawiyan. (Althoff, 1941 : 46) dalam Babad Tanah Jawi karya Althoff tersebut menyebutkan begini :

“ Saking karsanipun Sultan Pajng, Ki Ageng Ngenis kaaturan gegriya ing Lawiyan, inggih ndherek. Nalika sedanipun inggih kakubur iang Lawiyan ngriku ”.

Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut. Istilah Lawiyan juga kita temukan pada peristiwa pembunuhan Raden Pabelan (Jaka Pabelan atau dalam cerita Ki Gede Sala disebut Kyai Batang). Dia dibunuh karena bermain asmara dengan putri bungsu Sultan : Raden Ayu Sekar Kedaton. (Ibid : 86). Mayat Jaka Pabelan dibuang di Sungai Lawiyan (Sungai Jenes).

“ Sultan duka sanget, nunten nimbali Tamtama ndikakaken menjahi pandung wau. Tamtama kapimpin dning Ngabehi Wirakerti lan Suratama. Raden Pabelan kelakon saged kapejahan dipun krocak ing gegaman. Tatunipun arang kranjang, wengkanipun dipun bucal ing lapen Nglawiyan ”.

Selanjutnya berdasarkan kata Laweyan, secara etimologis berasal dari kata Lawe, yaitu benang bahan kain. Kita ketahui bahwa dalam bahasa Sansekerta terdapat kata Laway, artinya jenazah tanpa kepala. Kalau demikian, maka kata Laweyan, Lawayan menunjukkan tempat Nglawe (menghukum orang dengan lawe). Siapakah yang mendapatkan hukuman itu ? peristiwa ini kita hubungkan dengan Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika masih sebagai Pangeran, yang diperisteri (diambil sebagai selir) oleh Sunan Mangkurat Mas (Mangkurat III), bermain cinta dengan Raden Sukra, Putra Patih Raden Arya Sindureja. Keduanya ketahuan dan dihukum mati dengan lawe. Mayatnya dimakamkan di Astana Lawiyan. Dengan demikian nama Laweyan lebih muda dari pada Lawiyan.

Selanjutnya nama Lawiyan disebut pula dalam peristiwa pelarian Sunan Paku Buwana II ke Panaraga dalam masa Geger Pacianan (Pemberontakan Thionghoa) (Kuntharatama, 1958:7). Daerah ini dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan persembunyiannya. Sunan mohon berkah di Astana Lawiyan (Makam Ki Ageng enis). Maka Sunan Paku Buwana II juga disebut Sunan Nglawiyan dan ketika mangkat juga dimakamkan di Astana Nglawiyan.

Ada yang berpendapat bahwa Lawiyan berasal dari kata alih-alihan (perpindahan), dalam ucapan menjadi Ngalihan atau Ngaliyan yang akhirnya menjadi Lawiyan yaitu merupakan tempat perpindahan orang-orang dari Desa Nusupan (pelabuhan zaman Pajang-Kartasura di Bengawan Sala). Mereka pindah untuk menghindari bahaya banjir dari Bengawan Sala (dahulu namanya Bengawan Semanggi atau Bengawan Nusupan) Desa Nusupan (sekarang termasuk Kelurahan Semanggi) pada zaman Pajang dan Kartasura menjadi pelabuhan yang penting. Tetapi karena seringnya banjir, berpindah ke Lawiyan. Maka sampai saat ini wong Nglawiyan bagi masyarakat Sala termasuk kelompok orang kaya. Perkembangan selanjutnya dari Lawiyan ini pulalah muncul perkumpulan para pengusaha batik yang pertama yaitu Sarekat Dagang Islam dengan dipelopori oleh Kyai Haji Samanhudi (1911).

Kelurahan Lawiyan terdiri dari beberapa kampong, yaitu kampong Lor Pasar (tempat Sutawijaya tinggal dengan nama Mas Ngabehi Loring Pasar), kampong Kidul Pasar (sekarang batasnya sudah tidak jelas), kampong setono (Sentono) tempat tinggal abdi sentana Mas Ngabehi Kartahastono: kampung Sayangan Wetan dan Sayangan Kilen (tempat abdi dalem saying bertempat tinggal), yang tugas sehari-harinya sebagai abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga untuk keperluan kraton (Pajang), kampung Kwanggan, kampung Kramat (karena Astanma Nglawiyan dianggapnya sebagai tempat yang keramat), dan kampung Klaseman yaitu tempat memproses pembuatan kain batik agar warna batik nantinya tidak mencolok tetapi kelihatan lembut.